Sepenggal kisah, manakala Bung Karno baru saja tiba di Bengkulu, usai menjalani pembuangan di Pulau Bunga, Ende.
Di daerah “basis Islam” dengan alam yang dikelilingi pegunungan Bukit
Barisan, Bung Karno awalnya tidak memiliki banyak sahabat. Setiap orang
yang berkunjung ke kediamannya, esoknya langsung dipanggil kantor
polisi. Dicatat, ditanya apa-apa saja yang dibicarakan, dan tentu saja
dengan ancaman untuk tidak mendatangi Sukarno.
Satu per satu, masyarakat Bengkulu mulai ketakutan untuk berdekat-dekat
dengan Sukarno. Namun, magnit Sukarno begitu kuat, sehingga selalu saja
ada satu-dua orang yang nekat mengunjunginya, meski mereka tahu
akibatnya. Bahkan ada salah seorang guru yang begitu rajin mendatangi
Sukarno untuk sekadar ngobrol. Ia tidak pernah jera meski berkali-kali
harus berurusan dengan polisi Belanda.
Lambat-laun, satu per satu, masyarakat mulai lebih berani mendekati Bung
Karno. Terlebih ketika organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah sudah
terang-terangan berani meminta jasa Bung Karno untuk menjadi tenaga
pengajar. Pengajar agama! Dan dilarang bicara politik. Bung Karno girang
bukan kepalang. Ia tidak harus bicara politik kepada para murid. Ia
cukup menceritakan kisah-kisah heroik Nabi Besar Muhammad SAW, sambil
menanamkan benih-benih nasionalisme. Benih-benih cinta tanah air.
Waktu terus bergulir, dan Bung Karno pun menjelma menjadi sosok yang
didudukkan pada status “orang cerdik-pandai”. Bahkan, sejumlah warga
memperlakukannya laksana “dukun”. Ia tidak hanya dimintai nasihat
spiritual, tetapi dimintai juga mengobati sejumlah warga yang terserang
penyakit. Satu di antaranya, ia kedatangan seorang gadis sambil menangis
meraung-raung meminta tolong Bung Karno, dengan keluhan: Sudah tujuh
bulan tidak bisa menstruasi!
“Apa yang dapat saya lakukan? Saya bukan dokter,” kelit Bung Karno.
“Bapak menolong semua orang. Bapak adalah juru selamat kami. Saya
percaya kepada bapak, dan saya merasa sangat sakit. Tolonglah… tolonglah
saya… tolooong….”
Bung Karno tidak bisa mengelak. Bung Karno juga tidak ingin seorang
gadis mendatanginya dengan harapan sembuh, lantas harus pulang dengan
kecewa. Setelah berkonsentrasi sejenak… Bung Karno membacakan surah
pertama Alquran ditambah doa-doa. Esoknya, perempuan itu mens! Kabar itu
pun lekas tersiar. Dan Bung Karno “sang dukun” makin terkenal pula.
Apa itu saja? Masih ada lagi. Kisah seorang tukang perah susu yang
tengah dililit kesulitan uang. Untuk suatu keperluan, dia sangat
membutuhkan uang. Celakanya, dia pun yakin, dengan mendatangi Bung
Karno, persoalannya akan selesai. Apa yang terjadi? Memang begitu
adanya. Dia datang ke Bung Karno dan menyampaikan keluhannya, serta
memohon penyelesaian.
Bung Karno lantas meminta si pemerah susu menunggu. Sedangkan ia masuk
bilik, mengambil satu potong baju dan keluar rumah lewat pintu belakang.
Ia menggadaikan bajunya, demi mendapatkan uang tiga rupiah enampuluh
sen. Jumlah yang dibutuhkan si pemerah susu. Problem pun terselesaikan….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar