Di sini saia tertarik
untuk membahas mekanisme atau tata cara pelaksanaan hukuman mati di
Indonesia. Tata cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri pemformalannya
dalam tata perundangan Indonesia juga mengalami perjalanan yang cukup
panjang. Pada dasarnya ketika Indonesia dijajah Belanda pidana mati
sudah ada. Tata cara pelaksannannya adalah dengan cara dihukum gantung.
Setelah Jepang masuk menjajah Indonesia menggantikan Belanda teknis
pidana mati menjadi melalui hukum tembak ala militer, dan diteruskan
pemerintah Indonesia sampai saat ini.
Setelah
Indonesia merdeka penetapan tata cara atau mekanisme pelaksanaan pidana
mati ini diformalkan dalam Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1964 dan
tercatat dalam Lembaran Negara 1964 Nomor 38. Penetapan Presiden ini
kemudian diundangkan 27 April 1964 melalui UU No 2/Pnps/1964 dan
kemudian ditetapkan menjadi Undang-undang dengan UU Nomor 5 tahun 1969.
Masuk ke masalah teknis, pertama adalah tempat dimana si terpidana akan di pidana tembak mati.
Berdasarkan pasal 2 undang-undang tersebut tempat pelaksanaan eksekusi
adalah di wilayah hukum pengadilan dimana putusan tingkat pertama
dijatuhkan. Dalam kasus Imam Samudra cs maka lokasinya berada di Bali.
Selain itu berdasarkan pasal yang sama Imam Samudra tidak bisa
dieksekusi sendiri. Imam Samudra harus dikesekusi pada waktu dan tempat
yang sama dengan Amrozi dan Ali Gufron karena putusan hukuman mati
dijatuhkan dalam satu putusan.
Kedua adalah mengenai waktu dan lokasi.
Pihak yang berhak menentukan adalah Polda tempat eksekusi dengan
memperhatikan nasehat Kejaksaan karena kejaksaan adalah penanggung jawab
pelaksanaan pidana mati ini. Maksimal tiga hari (3 x 24 jam) sebelum
pelaksanaan si terpidana harus sudah diberi tahu dan si terpidana berhak
untuk menyampaikan pesan terakhirnya dengan dititipkan Kejaksaan.
Khusus bagi terpidana yang sedang hamil maka pelaksanaan pidana mati
menunggu empat puluh hari pasca terpidana melahirkan.
Ketiga adalah siapa saja yang berhak menghadiri pelaksanaan tembak mati.
Pelaksanaan hukuman mati tidak boleh dilaksanakan di depan umum serta
dilaksanakan secepat dan sesederhana mungkin. Kejaksaan sebagai
penanggung jawab pelaksanaan wajib hadir. Kepala Polisi Daerah atau
perwira yang ditunjuk juga wajib hadir sebagai pemimpin pelaksanaan.
Pembela juga berhak hadir atas permintaan sendiri atau terpidana untuk
menjadi saksi. Selain itu diundang pula dokter untuk memastikan kematian
terpidana. Terakhir rohaniawan apabila diperlukan juga dapat dihadirkan
saat pelaksanaan untuk menguatkan hati terpidana.
Keempat yaitu tim penembak.
Tim penembak ini terdiri dari satu Regu Penembak dari Brigade Mobil
(Brimob) dengan anggota seorang Bintara, 12 orang tamtama dan di pimpin
satu orang perwira.
Kelima yaitu persiapan pelaksanaan. Terpidana
datang ke lokasi dengan pengawalan secukupnya dan dengan mengenakan
pakaian yang sederhana. Terpidana berhak memilih apakah ia hendak
ditutup matanya atau tidak. Terpidana bisa menjalani hukuman dengan
posisi berdiri, duduk atau berlutut, tergantung kebutuhan. Jika
diperlukan terpidana juga dapat diikat pada sebuah sandaran khusus. Regu
penembak juga segera menempati posisinya dengan senjata sudah terisi
peluru. Jarak tembak sendiri minimal 5 meter dan maksimal 10 meter.
Keenam, pelaksanaan hukuman.
Setelah jaksa memerintahkan hukuman segera dilaksanakan maka tim
pengiring (polisi, rohaniawan, pembela) harus segera menjauhkan diri
dari terpidana. Perwira mengangkat pedangnya sebagai tanda agar Regu
Tembak mengarahkan senjatanya ke jantung korban. Ketika pedang
disentakan ke bawah maka berarti itu adalah tanda perintah penembakan
dan regu penembak pun menembak terpidana. Apabila setelah penembakan
terpidana terlihat belum mati maka Kepala Regu memerintahkan bintara
untuk menembak jarak dekat terpidana tepat di atas telinganya sebagai
tembakan pamungkas. Untuk memperoleh kepastian terpidana sudah
meninggal, maka dokter dapat dimintai bantuannya.
Keempat, pasca pelaksanaan hukuman.
Setelah pelaksanaan maka jenazah terpidana diserahkan kepada kerabat
atau sahabat terpidana untuk dikuburkan. Apabila tidak ada kerabat atau
sahabat yang menerima jenazahnya maka penguburan diserahkan kepada
Negara berdasarkan agama yang dianut terpidana. Kejaksaan juga tidak
boleh lupa membuat Berita Acara Pelaksanaan Hukuman mati ini.
Seperti itulah teknis
pelaksanaan hukuman mati di Indonesia. Tata cara pelaksanaan ini
tercantum dalam UU No 2/Pnps/1964. Pemerintah sudah mengupayakan
terjadinya pelaksanaan hukuman mati yang wajar dan tidak menyiksa.
Aparat pelaksananya pun sudah jelas dan netral. Tidak seperti saat
eksekusi Saddam Husein di Irak dimana terlihat sekali si pelaksana
sangat membenci Saddam Husein. Bahkan pelaksanaannya menurut saia
terlihat barbar karena ada banyak yang menyaksikan dan meneriakkan nama
Muqtada (al Sadr) yang merupakan musuh Saddam. Ada unsur balas dendam di
sini. Saia harap pelaksanaan hukkuman di Indonesia tidak sperti itu.
Satu yang agak
mengehrankan dari yang saia lihat di televise koq tampaknye eksekusi
hukuman mati Imam Samudra cs akan dilakukan di Nusakambangan.Padahal
sesuai amanah Undang-Undang tersebut tempat eksekusi harusnya di tempat
putusan tingkat pertama dijatuhkan yaitu di Bali. Apa kasus Imam Samudra
ini termasuk kasus special? Atau jangan-jangan wartawan-wartawan
dikibuli Kejaksaan? Semua wartawan sudah kumpul di Cilacap ternyata si
terpidananya nggak ada di situ. Kabarnya Lapas Batu sekarang tertutup
untuk umum. Terus bagaiman kita tahu Imam Samudracs ada di situ?
Jangan-jangan mereka sudah di Bali. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar